Tuesday, June 25, 2013

私はあなたの愛しているから ~PART 1~


Aku berjalan di sebuah jalan setapak bersama seseorang. Ia memiliki tubuh yang tinggi dan rambut berwarna coklat. Ia tersenyum kepadaku-sangat manis. Tiba-tiba orang itu berhenti dihadapanku dan mimik wajahnya berubah.
“Kita akan selalu bersama, kan, Mei?”
“Ya. Kita akan selalu bersama...” aku mendekap tangan orang itu. “Selalu bersama.”
***

KRIIIIINGGG!!!
“Uwaa!”
GUBRAKK!
“Adu-duh... Sakit...” aku perlahan bangkit dengan pinggang yang terasa sangat ngilu. “Lagi-lagi aku terjatuh dari tempat tidur begitu mendengar suara alarm. Memalukan sekali.” Gumamku sambil memungut bantal yang ikut terjatuh.
“Mei, apa kau baik-baik saja? Tadi bibi dengar ada suara gemuruh dari kamarmu.” terdengar suara bibi dari balik pintu.
“Iya, bi. Aku baik-baik saja. Maaf sudah membuat keributan.”
“Baiklah kalau memang tidak ada apa-apa. Cepat mandi dan ganti bajumu, nanti kau terlambat.”
“Baik!”
Aku langsung mengeluarkan seragamku dari dalam lemari dan bersiap-siap. Begitu semuanya sudah beres, aku langsung menggapai tasku dan pergi keluar kamar.
“Selamat pagi, bibi.” Aku duduk tepat di depan bibiku itu.
“Pagi. Kau bersemangat sekali pagi ini.”
“Benarkah? Aku rasa ini seperti biasa.” Aku melihat keadaan sekitar, dan ternyata paman sudah tidak ada. “Dimana paman?”
“Pamanmu sudah pergi sejak dini hari dan dia tidak sempat berpamitan denganmu.”
Aku mengangguk-angguk layaknya seumuran dengan paman dan bibi. “Begitu, ya? Paman memang selalu sibuk.”
“Yah, seperti itulah dia.” Bibi memberikan dua potong roti kepadaku. “Cepat habiskan sarapanmu. Jangan sampai Suzuki menunggumu lagi.”
Okay!
Sepintas aku ini terlihat seperti anak kelas satu SMA pada umumnya bukan? Namun... sebenarnya tidak begitu. Aku baru saja mengalami hal yang besar. Bibi bilang, sewaktu aku kelas dua SMP dan hendak pergi berlibur dengan keluargaku, kami mengalami kecelakaan di perjalanan. Kedua orang tuaku meninggal dan aku hilang ingatan. Memang benar ketika siuman di rumah sakit aku tidak ingat apa-apa, bahkan nama sendiri pun tidak aku ingat.
Aku benar-benar bimbang pada saat itu. Tidak ada seorang pun yang ku kenal dan dapat ku percayai. Akhirnya bibi datang dan mengadopsiku sebagai anaknya. Bibi bilang kalau dia adalah adik kandung dari ibuku, dan bibi juga memberitahu kalau namaku Tomomi Mei. Namun karena saat ini aku sudah resmi menjadi anak bibi, namaku berganti menjadi Mizutani Mei. Bibi bilang, kalau ia tidak mengadopsiku cepat-cepat, maka keberadaanku dan semua harta yang dimiliki kedua orang tuaku akan lenyap. Saudara-saudaraku yang lain sedang meributkan soal harta orang tuaku saat itu.
Aku sempat berpikir jika bibi juga menginginkan semua harta orang tuaku, namun aku sadar satu hal. Jika bibi menginginkan harta orang tuaku, kenapa bibi sampai repot-repot mengurusku dengan sangat baik-sampai saat ini. Bibi juga sampai pindah rumah dari Tokyo ke Osaka, hanya untuk menyembunyikan keberadaanku dari saudara yang lainnya. Karena hal itulah aku jadi sangat mempercayai bibiku itu.
“Mei!” suara bibi memecahkan lamunanku.
“Ah, iya! Ada apa, bi?”
“Dari tadi kau hanya melamun. Apa ada masalah?”
Aku menggeleng. “Tidak-tidak. Semuanya baik-baik saja.” Aku bangkit kemudian menggapai tasku yang berada di ujung meja. “Sebaiknya aku berangkat sekarang.”
“Tunggu!” bibi memberikan dua buah bento kepadaku. “Ini untukmu dan untuk Suzuki. Pastikan kalian menghabiskannya.”
“Baik. Terima kasih, bi. Aku berangkat!”
***
“Maaf menunggu!”
Seorang laki-laki menghampiriku. Tubuh jangkungnya dan rambut berwarna hitam-kecoklatan itu sudah tidak asing lagi bagiku. Itulah Suzuki Kentaro, sahabat sekaligus tetanggaku. Aku biasa memanggilnya Ken.
“Kau lama sekali.” Aku memasang tatapan sinis.
“Maaf-maaf! Tadi pagi aku diare dan harus bolak-balik ke kamar mandi. Waktuku jadi tersita karena itu.”
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Ken yang satu ini. “Apa kau bilang? Kau diare? Jarang sekali kau terkena diare.”
Aku tidak bisa berhenti tertawa dan sepertinya aku membuat Ken kesal.
“Apakah selucu itu? Jahat sekali kau menertawakan orang yang sedang diare!”
“Maaf-maaf, tapi jujur lucu sekali.” Aku mengambil salah satu bento dari dalam tasku, kemudian memberikannya kepada Ken. “Ambilah. Semoga saja kau merasa lebih baik setelah memakan ini.”
Sebuah senyuman langsung merekah dari wajah Ken. “Waah! Apa kau serius?”
Aku mengangguk. “Tentu saja.”
“Terima kasih banyak! Aku senang sekali! Apa ini buatanmu, Mei?”
“Bukan. Ini buatan bibi. Sepertinya bibi mempunyai telepati terhadapmu.”
“Tidak mungkin ada yang seperti itu, hanya kebetulan saja bibi membuatkan bento untukku.” Ken menatap bento yang ia pegang. “Tapi... aku akan lebih senang lagi jika kau yang membuatkan bento ini.”
“Apa kau mengatakan sesuatu?” aku meyakinkan apa yang aku dengar.
“Ti-tidak! Tidak! Bukan apa-apa!” Ken menarik tanganku. “Ayo! Sebaiknya kita cepat!”
Dan kami berjalan sampai sekolah. Begitu kami sampai di koridor, Ken melambaikan tangan kepadaku. Hal itu karena kami tidak satu kelas. Ren berbelok ke kiri, sedangkan aku berbelok ke kanan. Namun, meski tidak satu kelas, Ken selalu menyempatkan diri mampir ke kelasku. Seperti bodyguard saja.
“Pagi, Mizutani.” Sapa Haruka, teman baikku di kelas.
“Pagi, Haruka.”
“Hari ini kau datang bersama Suzuki lagi.”
“Wajar saja, bukan? Toh, aku dan Ken bertetangga.”
“Tapi kalian ini seperti sepasang kekasih. Berangkat ke sekolah selalu bersama, begitu juga ketika ingin pulang ke rumah.” Haruka bertopang dagu. “Hei, Mizutani. Apa kau tidak kepikiran untuk menjadi kekasih Suzuki?”
“Tidak.”
“Kau dingin sekali langsung menjawab tidak!”
“Aku memang tidak ingin menjadi kekasih Ken. Untuk apa aku berbasa-basi?”
Haruka terlihat kesal. “Setidaknya kau harus mencoba dulu. Aku yakin Suzuki menyukaimu!”
“Tidak mau dan tidak akan pernah. Selain itu, kalau kami pacaran, aku takut sikap Ken berubah kepadaku. Kalau nanti kami putus, persahabatan kami pasti akan hancur. Aku tidak ingin seperti itu.” Aku menatap Haruka. “Aku lebih nyaman seperti ini.”
“Haaah...” Haruka menghela nafas. “Aku pikir, Suzuki bukan tipe orang seperti itu.”
“Haruka sepertinya mengenal baik Ken. Kenapa tidak Haruka saja yang pacaran dengan Ken?”
“Meski Suzuki orang yang baik dan cukup tampan, tapi dia bukan tipe-ku. Aku suka cowok yang sedikit nakal.”
Kali ini aku menghela nafas. “Kau ini...”
Tak berapa lama setelah pembicaraan kami itu, bel tanda masuk berbunyi. Segera semua siswa kembali ke tempatnya masing-masing dan pelajaran pun di mulai.
***

No comments:

Post a Comment