Keluarga Suzuki
sangat baik dan ramah. Bukan hanya kepadaku, namun juga kepada semua orang. Hal
itu lah yang membuat semua orang takjub kepada keluarga ini, termasuk aku
sendiri.
Jika dilihat rumah
Ken tidak sebesar rumahku, namun memiliki halaman yang sangat luas. Kurasa
cukup untuk pertandingan baseball. Selain
itu, halaman rumahnya dibiarkan kosong begitu saja. Ken bilang kalau orang
tuanya sengaja membuatnya kosong, karena praktis jika ada acara keluarga atau
semacamnya. Memang benar sih. Kita tidak perlu repot-repot membereskan isi
rumah jika memiliki lahan kosong.
“Mau bibi
panggilkan anak itu?”
“Apa tidak
merepotkan?”
“Tentu saja
tidak. Tunggu sebentar ya!”
“Kalau begitu,
aku akan memindahkan kuenya ke piring.”
“Benarkah? Maaf
merepotkan.”
“Tidak apa-apa,
justru aku yang merepotkan.”
Aku membawa kue
ini ke dapur dan mengambil sebuah piring besar dari dalam lemari, kemudian aku
pun memindahkannya ke piring. Begitu aku mengangkat piringnya dan hendak
membawanya ke ruang tengah, seseorang berteriak di telingaku,
“Mei!!”
“Uwaaa-!” sontak
aku langsung terkejut dan piring yang aku pun bawa terjatuh.
PRANGG!!!
Pecahlah piring itu
beserta kuenya yang hancur.
“Gawat!” aku
menoleh kearah orang itu dan ternyata ia Ken. “Ken!!”
“Ma-maaf! Aku
tidak tahu kalau kau sedang membawa piring dan kue itu! Aku benar-benar minta
maaf!”
Tak lama setelah
itu, bibi datang dengan wajah yang bertanya-tanya.
“Apa yang
terjadi?” Bibi pun terkejut melihat piring dan kue yang kubawa berserakan di
lantai. “Ya ampun! Kenapa kuenya hancur seperti itu?”
“Maaf, bi. Tadi
aku menjatuhkannya. Tanganku licin.” Aku membungkukkan badan.
Mendengar itu,
Ken langsung terkejut dan menatapku seakan-akan ia bertanya, ‘kenapa kau
melakukan itu?’. Aku balik menatapnya seakan-akan aku berkata, ‘Kau diam saja!’
“Ya sudah tidak
apa-apa. Apa kau terluka, Mizutani?”
Aku menggeleng. “Aku
baik-baik saja, bi. Maaf sudah membuat keributan.”
“Syukur kalau
kau baik-baik saja. Biar bibi saja yang membereskannya.”
“Tidak, aku akan
membereskannya. Ini salahku.” Aku pun mengambil kantong plastik dan memasukan
serpihan-serpihan piring yang terjatuh tadi.
Melihat itu, Ken
langsung merebut kantong plastik yang ku pegang dan ikut memungut
serpihan-serpihan piring itu. “Biar aku saja. Nanti tanganmu terluka.”
“Baiklah, Ken,
kau bantu Mizutani membereskan ini. Ibu harus menjemput adikmu segera. Tolong
ya.”
Aku dan Ken
mengangguk bersamaan, kemudian bibi langsung mengambil sepeda dan pergi
menjemput adiknya Ken.
Ken berjongkok
dan kembali memungut serpihan-serpihan itu. Aku pun ikut membantu dan
berjongkok di sebelah Ken.
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
Ken menatapku
dengan wajah marah sekaligus kesal. “Kenapa kau berbohong kepada ibuku?
Jelas-jelas tadi itu salahku, kenapa kau mengakuinya?”
Aku diam saja
pada saat itu. Sepertinya aku membuat Ken semakin marah, bahkan nada suaranya
langsung meninggi.
“Mei-!!”
“Ken, tadi itu
memang salahku.” Aku menatap tepat di pupil matanya. “Aku yang kurang hati-hati
membawa piringnya.”
“Tapi tadi itu
aku mengejutkanmu dan membuatmu menjatuhkan piringnya!”
Aku pun jadi
ikut emosi dan meninggikan suaraku. “Sudahlah! Lagi pula ibumu tidak
memarahiku, kan?”
“Memang tidak!
Tapi kau akan dimarahi oleh bibimu!”
“Bibi akan
memaafkanku jika aku berkata jujur. Kau sebaiknya diam dan bantu aku bersihkan
serpihan-serpihan ini.”
“Tapi aku-!”
Karena emosiku
sudah memuncak, aku langsung mengambil kue yang terjatuh dan memasukkannya ke
mulut Ken. “Sudah ku bilang kau diam saja. Kau membuatku ikut emosi.”
Ken terkejut
dengan apa yang aku lakukan, namun perlahan-lahan wajah marahnya menghilang. Ia
pun mengeluarkan kue yang berada di mulutnya dan memasukkannya ke mulutku.
“Kau juga aku
membuat emosi.”
“Hmpppfff-!” aku
memuntahkan kue itu ke lantai. “Ken! Kau jorok sekali!”
“Salahmu
sendiri, kan? Kau yang mulai duluan.”
Akhirnya kami
berdua saling melempar kue hingga hingga kami kotor dan lelah. Kalau dipikir,
seperti anak kecil saja. Setelah puas, aku langsung membereskan kue-kue itu dan
mengepel lantai dapur rumah Ken. Tentu saja Ken membantuku.
“Hari ini
melelahkan sekali.” Ujarku sambil mengepel.
“Kau benar. Oh
ya, apa tujuanmu kemari hanya untuk mengantarkan kue ini?”
“Ah! Aku sampai
lupa. Aku juga ingin menanyakan tugas kepadamu.”
“Tapi ini sudah
hampir malam.”
Aku memasang
wajah kesal. “Apa kau keberatan? Kalau iya, aku akan langsung pulang saja.”
“Tidak-tidak! Bukan
seperti itu maksudku!” Ken terlihat berpikir, namun wajahnya juga terlihat
panik dan kebingungan. “Maksudku, apa kau tidak takut ketika pulang nanti?”
“Kenapa aku
harus takut? Kan nanti Ken yang mengantarku.”
“Kau benar.” Ken
nyengir. “Kalau tidak diminta pun, aku pasti akan mengantarmu pulang.”
“Terima kasih!”
Ken mengangguk.
“Baiklah! Pekerjaan kita sudah selesai. Apa kau ingin mandi? Kau bisa
menggunakan kamar mandi rumahku jika perlu.”
“Apa tidak
merepotkan? Aku ingin berendam setelah ini.”
“Tentu saja
tidak! Kalau begitu, aku siapkan air panasnya terlebih dahulu. Bisa kau
bereskan pengepel-nya?”
Aku mengangguk
dan Ken pergi untuk menyiapkan air panas untukku. Dia memang baik sekali.
Tiba-tiba aku
ingat kalau aku belum bilang akan pulang malam hari ini. Meski rumah Ken di
sebelah rumahku, namun bibi pasti akan sangat khawatir jika aku pulang lewat
dari jam 6 sore. Aku pun langsung mengambil ponselku dan menghubungi nomor
bibi.
“Halo, Mei? Ada apa?” terdengar suara
bibi dari ujung sana.
“Halo, bi. Mei cuma
ingin bilang, sepertinya Mei pulang malam hari ini. Nanti Ken yang akan
mengantar Mei pulang.”
“Baiklah kalau begitu. Kau jangan berulah ya
disana. Jangan membuat ibunya Ken repot.”
“Iya, bi. Aku
akan jaga sikap.” Tiba-tiba aku teringat kejadian tadi siang, ketika kue yang
ku bawa terjatuh dan hancur seketika. “Bi, Mei ingin bilang sesuatu.”
“Ada apa? Apa telah terjadi sesuatu?”
“Iya. Mei minta
maaf, kue yang tadi hancur.”
“Apa?!” terdengar suara bibi yang amat
sangat terkejut. “Bagaimana bisa, Mei?!”
“Jadi ketika Mei
ingin membawa kue itu ke ruang tengah rumah Ken, tiba-tiba Ken mengejutkanku
dari belakang. Otomatis kuenya langsung jatuh dan... hancur...”
“Lalu, apa yang terjadi setelah itu?”
“Bibi Suzuki
langsung datang. Tapi aku bilang jika itu kesalahanku, Mei tidak ingin Ken kena
marah.”
“Kau ini...” bibi terdengar menghembuskan
napas. “Apa kau dimarahi? Seharusnya kau
tidak berbohong.”
“Aku tahu, tapi
Mei tidak ingin Ken dimarahi. Lagi pula, Mei tidak dimarahi sama sekali.”
“Ya sudah. Yang penting kau baik-baik saja.”
“Iya. Terima
kasih, bi.”
“Ya. Lain kali kau harus jujur kepada orang
lain.”
“Baik, bi.”
Bibi pun
memutuskan telepon dan aku menyimpan ponselku di saku celana. Tak lama setelah
itu, Ken datang membawa sebuah handuk dan mengatakan jika air panasnya sudah
siap. Aku pun langsung mengambil handuk yang dibawa Ken dan masuk ke kamar
mandi.
***
No comments:
Post a Comment