Aku berjalan di
sebuah jalan setapak bersama seseorang. Ia memiliki tubuh yang tinggi dan
rambut berwarna coklat. Ia tersenyum kepadaku-sangat manis. Tiba-tiba orang itu
berhenti dihadapanku dan mimik wajahnya berubah.
“Kita akan
selalu bersama, kan, Mei?”
“Ya. Kita akan
selalu bersama...” aku mendekap tangan orang itu. “Selalu bersama.”
***
KRIIIIINGGG!!!
“Uwaa!”
GUBRAKK!
“Adu-duh...
Sakit...” aku perlahan bangkit dengan pinggang yang terasa sangat ngilu. “Lagi-lagi
aku terjatuh dari tempat tidur begitu mendengar suara alarm. Memalukan sekali.”
Gumamku sambil memungut bantal yang ikut terjatuh.
“Mei, apa kau
baik-baik saja? Tadi bibi dengar ada suara gemuruh dari kamarmu.” terdengar
suara bibi dari balik pintu.
“Iya, bi. Aku
baik-baik saja. Maaf sudah membuat keributan.”
“Baiklah kalau
memang tidak ada apa-apa. Cepat mandi dan ganti bajumu, nanti kau terlambat.”
“Baik!”
Aku langsung
mengeluarkan seragamku dari dalam lemari dan bersiap-siap. Begitu semuanya
sudah beres, aku langsung menggapai tasku dan pergi keluar kamar.
“Selamat pagi,
bibi.” Aku duduk tepat di depan bibiku itu.
“Pagi. Kau
bersemangat sekali pagi ini.”
“Benarkah? Aku
rasa ini seperti biasa.” Aku melihat keadaan sekitar, dan ternyata paman sudah
tidak ada. “Dimana paman?”
“Pamanmu sudah pergi
sejak dini hari dan dia tidak sempat berpamitan denganmu.”
Aku
mengangguk-angguk layaknya seumuran dengan paman dan bibi. “Begitu, ya? Paman
memang selalu sibuk.”
“Yah, seperti
itulah dia.” Bibi memberikan dua potong roti kepadaku. “Cepat habiskan sarapanmu.
Jangan sampai Suzuki menunggumu lagi.”
“Okay!”
Sepintas aku ini
terlihat seperti anak kelas satu SMA pada umumnya bukan? Namun... sebenarnya
tidak begitu. Aku baru saja mengalami hal yang besar. Bibi bilang, sewaktu aku
kelas dua SMP dan hendak pergi berlibur dengan keluargaku, kami mengalami
kecelakaan di perjalanan. Kedua orang tuaku meninggal dan aku hilang ingatan.
Memang benar ketika siuman di rumah sakit aku tidak ingat apa-apa, bahkan nama
sendiri pun tidak aku ingat.
Aku benar-benar
bimbang pada saat itu. Tidak ada seorang pun yang ku kenal dan dapat ku
percayai. Akhirnya bibi datang dan mengadopsiku sebagai anaknya. Bibi bilang
kalau dia adalah adik kandung dari ibuku, dan bibi juga memberitahu kalau
namaku Tomomi Mei. Namun karena saat ini aku sudah resmi menjadi anak bibi,
namaku berganti menjadi Mizutani Mei. Bibi bilang, kalau ia tidak mengadopsiku
cepat-cepat, maka keberadaanku dan semua harta yang dimiliki kedua orang tuaku
akan lenyap. Saudara-saudaraku yang lain sedang meributkan soal harta orang
tuaku saat itu.
Aku sempat
berpikir jika bibi juga menginginkan semua harta orang tuaku, namun aku sadar
satu hal. Jika bibi menginginkan harta orang tuaku, kenapa bibi sampai
repot-repot mengurusku dengan sangat baik-sampai saat ini. Bibi juga sampai
pindah rumah dari Tokyo ke Osaka, hanya untuk menyembunyikan keberadaanku dari
saudara yang lainnya. Karena hal itulah aku jadi sangat mempercayai bibiku itu.
“Mei!” suara
bibi memecahkan lamunanku.
“Ah, iya! Ada
apa, bi?”
“Dari tadi kau
hanya melamun. Apa ada masalah?”
Aku menggeleng. “Tidak-tidak.
Semuanya baik-baik saja.” Aku bangkit kemudian menggapai tasku yang berada di
ujung meja. “Sebaiknya aku berangkat sekarang.”
“Tunggu!” bibi
memberikan dua buah bento kepadaku. “Ini untukmu dan untuk Suzuki. Pastikan
kalian menghabiskannya.”
“Baik. Terima
kasih, bi. Aku berangkat!”
***
“Maaf menunggu!”
Seorang laki-laki
menghampiriku. Tubuh jangkungnya dan rambut berwarna hitam-kecoklatan itu sudah
tidak asing lagi bagiku. Itulah Suzuki Kentaro, sahabat sekaligus tetanggaku.
Aku biasa memanggilnya Ken.
“Kau lama
sekali.” Aku memasang tatapan sinis.
“Maaf-maaf! Tadi
pagi aku diare dan harus bolak-balik ke kamar mandi. Waktuku jadi tersita
karena itu.”
Aku tertawa
terbahak-bahak mendengar penjelasan Ken yang satu ini. “Apa kau bilang? Kau
diare? Jarang sekali kau terkena diare.”
Aku tidak bisa
berhenti tertawa dan sepertinya aku membuat Ken kesal.
“Apakah selucu
itu? Jahat sekali kau menertawakan orang yang sedang diare!”
“Maaf-maaf, tapi
jujur lucu sekali.” Aku mengambil salah satu bento dari dalam tasku, kemudian
memberikannya kepada Ken. “Ambilah. Semoga saja kau merasa lebih baik setelah
memakan ini.”
Sebuah senyuman
langsung merekah dari wajah Ken. “Waah! Apa kau serius?”
Aku mengangguk. “Tentu
saja.”
“Terima kasih
banyak! Aku senang sekali! Apa ini buatanmu, Mei?”
“Bukan. Ini
buatan bibi. Sepertinya bibi mempunyai telepati terhadapmu.”
“Tidak mungkin
ada yang seperti itu, hanya kebetulan saja bibi membuatkan bento untukku.” Ken
menatap bento yang ia pegang. “Tapi... aku akan lebih senang lagi jika kau yang
membuatkan bento ini.”
“Apa kau
mengatakan sesuatu?” aku meyakinkan apa yang aku dengar.
“Ti-tidak! Tidak!
Bukan apa-apa!” Ken menarik tanganku. “Ayo! Sebaiknya kita cepat!”
Dan kami
berjalan sampai sekolah. Begitu kami sampai di koridor, Ken melambaikan tangan
kepadaku. Hal itu karena kami tidak satu kelas. Ren berbelok ke kiri, sedangkan
aku berbelok ke kanan. Namun, meski tidak satu kelas, Ken selalu menyempatkan
diri mampir ke kelasku. Seperti bodyguard
saja.
“Pagi, Mizutani.”
Sapa Haruka, teman baikku di kelas.
“Pagi, Haruka.”
“Hari ini kau
datang bersama Suzuki lagi.”
“Wajar saja,
bukan? Toh, aku dan Ken bertetangga.”
“Tapi kalian ini
seperti sepasang kekasih. Berangkat ke sekolah selalu bersama, begitu juga
ketika ingin pulang ke rumah.” Haruka bertopang dagu. “Hei, Mizutani. Apa kau
tidak kepikiran untuk menjadi kekasih Suzuki?”
“Tidak.”
“Kau dingin
sekali langsung menjawab tidak!”
“Aku memang
tidak ingin menjadi kekasih Ken. Untuk apa aku berbasa-basi?”
Haruka terlihat
kesal. “Setidaknya kau harus mencoba dulu. Aku yakin Suzuki menyukaimu!”
“Tidak mau dan
tidak akan pernah. Selain itu, kalau kami pacaran, aku takut sikap Ken berubah
kepadaku. Kalau nanti kami putus, persahabatan kami pasti akan hancur. Aku
tidak ingin seperti itu.” Aku menatap Haruka. “Aku lebih nyaman seperti ini.”
“Haaah...”
Haruka menghela nafas. “Aku pikir, Suzuki bukan tipe orang seperti itu.”
“Haruka
sepertinya mengenal baik Ken. Kenapa tidak Haruka saja yang pacaran dengan Ken?”
“Meski Suzuki
orang yang baik dan cukup tampan, tapi dia bukan tipe-ku. Aku suka cowok yang
sedikit nakal.”
Kali ini aku
menghela nafas. “Kau ini...”
Tak berapa lama
setelah pembicaraan kami itu, bel tanda masuk berbunyi. Segera semua siswa
kembali ke tempatnya masing-masing dan pelajaran pun di mulai.
***
No comments:
Post a Comment