Tuesday, June 25, 2013

私はあなたの愛しているから ~PART 3~


Keluarga Suzuki sangat baik dan ramah. Bukan hanya kepadaku, namun juga kepada semua orang. Hal itu lah yang membuat semua orang takjub kepada keluarga ini, termasuk aku sendiri.

Jika dilihat rumah Ken tidak sebesar rumahku, namun memiliki halaman yang sangat luas. Kurasa cukup untuk pertandingan baseball. Selain itu, halaman rumahnya dibiarkan kosong begitu saja. Ken bilang kalau orang tuanya sengaja membuatnya kosong, karena praktis jika ada acara keluarga atau semacamnya. Memang benar sih. Kita tidak perlu repot-repot membereskan isi rumah jika memiliki lahan kosong.
“Mau bibi panggilkan anak itu?”
“Apa tidak merepotkan?”
“Tentu saja tidak. Tunggu sebentar ya!”
“Kalau begitu, aku akan memindahkan kuenya ke piring.”
“Benarkah? Maaf merepotkan.”
“Tidak apa-apa, justru aku yang merepotkan.”
Aku membawa kue ini ke dapur dan mengambil sebuah piring besar dari dalam lemari, kemudian aku pun memindahkannya ke piring. Begitu aku mengangkat piringnya dan hendak membawanya ke ruang tengah, seseorang berteriak di telingaku,
“Mei!!”
“Uwaaa-!” sontak aku langsung terkejut dan piring yang aku pun bawa terjatuh.
PRANGG!!!
Pecahlah piring itu beserta kuenya yang hancur.
“Gawat!” aku menoleh kearah orang itu dan ternyata ia Ken. “Ken!!”
“Ma-maaf! Aku tidak tahu kalau kau sedang membawa piring dan kue itu! Aku benar-benar minta maaf!”
Tak lama setelah itu, bibi datang dengan wajah yang bertanya-tanya.
“Apa yang terjadi?” Bibi pun terkejut melihat piring dan kue yang kubawa berserakan di lantai. “Ya ampun! Kenapa kuenya hancur seperti itu?”
“Maaf, bi. Tadi aku menjatuhkannya. Tanganku licin.” Aku membungkukkan badan.
Mendengar itu, Ken langsung terkejut dan menatapku seakan-akan ia bertanya, ‘kenapa kau melakukan itu?’. Aku balik menatapnya seakan-akan aku berkata, ‘Kau diam saja!’
“Ya sudah tidak apa-apa. Apa kau terluka, Mizutani?”
Aku menggeleng. “Aku baik-baik saja, bi. Maaf sudah membuat keributan.”
“Syukur kalau kau baik-baik saja. Biar bibi saja yang membereskannya.”
“Tidak, aku akan membereskannya. Ini salahku.” Aku pun mengambil kantong plastik dan memasukan serpihan-serpihan piring yang terjatuh tadi.
Melihat itu, Ken langsung merebut kantong plastik yang ku pegang dan ikut memungut serpihan-serpihan piring itu. “Biar aku saja. Nanti tanganmu terluka.”
“Baiklah, Ken, kau bantu Mizutani membereskan ini. Ibu harus menjemput adikmu segera. Tolong ya.”
Aku dan Ken mengangguk bersamaan, kemudian bibi langsung mengambil sepeda dan pergi menjemput adiknya Ken.
Ken berjongkok dan kembali memungut serpihan-serpihan itu. Aku pun ikut membantu dan berjongkok di sebelah Ken.
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
Ken menatapku dengan wajah marah sekaligus kesal. “Kenapa kau berbohong kepada ibuku? Jelas-jelas tadi itu salahku, kenapa kau mengakuinya?”
Aku diam saja pada saat itu. Sepertinya aku membuat Ken semakin marah, bahkan nada suaranya langsung meninggi.
“Mei-!!”
“Ken, tadi itu memang salahku.” Aku menatap tepat di pupil matanya. “Aku yang kurang hati-hati membawa piringnya.”
“Tapi tadi itu aku mengejutkanmu dan membuatmu menjatuhkan piringnya!”
Aku pun jadi ikut emosi dan meninggikan suaraku. “Sudahlah! Lagi pula ibumu tidak memarahiku, kan?”
“Memang tidak! Tapi kau akan dimarahi oleh bibimu!”
“Bibi akan memaafkanku jika aku berkata jujur. Kau sebaiknya diam dan bantu aku bersihkan serpihan-serpihan ini.”
“Tapi aku-!”
Karena emosiku sudah memuncak, aku langsung mengambil kue yang terjatuh dan memasukkannya ke mulut Ken. “Sudah ku bilang kau diam saja. Kau membuatku ikut emosi.”
Ken terkejut dengan apa yang aku lakukan, namun perlahan-lahan wajah marahnya menghilang. Ia pun mengeluarkan kue yang berada di mulutnya dan memasukkannya ke mulutku.
“Kau juga aku membuat emosi.”
“Hmpppfff-!” aku memuntahkan kue itu ke lantai. “Ken! Kau jorok sekali!”
“Salahmu sendiri, kan? Kau yang mulai duluan.”
Akhirnya kami berdua saling melempar kue hingga hingga kami kotor dan lelah. Kalau dipikir, seperti anak kecil saja. Setelah puas, aku langsung membereskan kue-kue itu dan mengepel lantai dapur rumah Ken. Tentu saja Ken membantuku.
“Hari ini melelahkan sekali.” Ujarku sambil mengepel.
“Kau benar. Oh ya, apa tujuanmu kemari hanya untuk mengantarkan kue ini?”
“Ah! Aku sampai lupa. Aku juga ingin menanyakan tugas kepadamu.”
“Tapi ini sudah hampir malam.”
Aku memasang wajah kesal. “Apa kau keberatan? Kalau iya, aku akan langsung pulang saja.”
“Tidak-tidak! Bukan seperti itu maksudku!” Ken terlihat berpikir, namun wajahnya juga terlihat panik dan kebingungan. “Maksudku, apa kau tidak takut ketika pulang nanti?”
“Kenapa aku harus takut? Kan nanti Ken yang mengantarku.”
“Kau benar.” Ken nyengir. “Kalau tidak diminta pun, aku pasti akan mengantarmu pulang.”
“Terima kasih!”
Ken mengangguk. “Baiklah! Pekerjaan kita sudah selesai. Apa kau ingin mandi? Kau bisa menggunakan kamar mandi rumahku jika perlu.”
“Apa tidak merepotkan? Aku ingin berendam setelah ini.”
“Tentu saja tidak! Kalau begitu, aku siapkan air panasnya terlebih dahulu. Bisa kau bereskan pengepel-nya?”
Aku mengangguk dan Ken pergi untuk menyiapkan air panas untukku. Dia memang baik sekali.
Tiba-tiba aku ingat kalau aku belum bilang akan pulang malam hari ini. Meski rumah Ken di sebelah rumahku, namun bibi pasti akan sangat khawatir jika aku pulang lewat dari jam 6 sore. Aku pun langsung mengambil ponselku dan menghubungi nomor bibi.
Halo, Mei? Ada apa?” terdengar suara bibi dari ujung sana.
“Halo, bi. Mei cuma ingin bilang, sepertinya Mei pulang malam hari ini. Nanti Ken yang akan mengantar Mei pulang.”
Baiklah kalau begitu. Kau jangan berulah ya disana. Jangan membuat ibunya Ken repot.
“Iya, bi. Aku akan jaga sikap.” Tiba-tiba aku teringat kejadian tadi siang, ketika kue yang ku bawa terjatuh dan hancur seketika. “Bi, Mei ingin bilang sesuatu.”
Ada apa? Apa telah terjadi sesuatu?
“Iya. Mei minta maaf, kue yang tadi hancur.”
Apa?!” terdengar suara bibi yang amat sangat terkejut. “Bagaimana bisa, Mei?!
“Jadi ketika Mei ingin membawa kue itu ke ruang tengah rumah Ken, tiba-tiba Ken mengejutkanku dari belakang. Otomatis kuenya langsung jatuh dan... hancur...”
Lalu, apa yang terjadi setelah itu?
“Bibi Suzuki langsung datang. Tapi aku bilang jika itu kesalahanku, Mei tidak ingin Ken kena marah.”
Kau ini...” bibi terdengar menghembuskan napas. “Apa kau dimarahi? Seharusnya kau tidak berbohong.
“Aku tahu, tapi Mei tidak ingin Ken dimarahi. Lagi pula, Mei tidak dimarahi sama sekali.”
Ya sudah. Yang penting kau baik-baik saja.
“Iya. Terima kasih, bi.”
Ya. Lain kali kau harus jujur kepada orang lain.
“Baik, bi.”
Bibi pun memutuskan telepon dan aku menyimpan ponselku di saku celana. Tak lama setelah itu, Ken datang membawa sebuah handuk dan mengatakan jika air panasnya sudah siap. Aku pun langsung mengambil handuk yang dibawa Ken dan masuk ke kamar mandi.
***

No comments:

Post a Comment