“Maaf, Haruka,
apa kau melihat Mei?”
“Ah, Suzuki! Kebetulan
sekali! Tadi Mei menitipkan pesan padaku. Katanya kau langsung ke perpustakaan
saja. Mei menunggumu disana.”
“Perpustakaan?
Tumben sekali.”
“Ia lupa
mengerjakan tugasnya, jadi ia harus menyelesaikannya istirahat ini.”
Ken menghela
nafas. “Dasar anak itu. Ya sudah, terima kasih banyak, Haruka. Aku akan
langsung ke perpustakaan.”
“Tunggu!” Haruka
memberikan sebuah buku kepada Ken. “Mizutani memang harus menyelesaikan
tugasnya istirahat ini, tapi sepertinya ia lupa membawa buku tugasnya. Bisa
tolong kau berikan ini kepadanya.”
Sebuah kerutan
muncul di dahi Ken. “Mei! Kau bahkan lupa membawa buku tugasmu ketika kau ingin
mengerjakannya! Dasar!”
Dengan kesal, Ken
akhirnya berlari sampai perpustakaan.
***
“Mei!” suara Ken
terdengar nyaring begitu ia sampai di tempatku duduk.
“Ken... Jangan
berteriak! Ini perpustakaan.”
Ken duduk di
depanku. “Kau ini! Sudah ku bilang-kan, kerjakan tugasmu terlebih dahulu!”
“Maaf-maaf...”
aku menggaruk-garuk kepalaku. “Aku lupa...”
“Kalau begitu,
buat catatan kecil agar kau selalu ingat!”
“Ba-baiklah, aku
akan membuat catatan kecil seperti yang kau bilang. Tapi bisakah kau tidak
berteriak? Semua orang menatap kearah kita!”
Ken melihat
keadaan sekitar, kemudian menatapku kembali. “Aku tidak peduli! Saat ini aku
sedang sangat kesal!”
“Baiklah! Aku
minta maaf...” aku bangkit dari kursi. “Tapi, aku harus kembali ke kelas
sesegera mungkin. Sepertinya aku melupakan buku tugasku.”
“Tidak perlu.
Aku membawanya kemari.” Ken mengeluarkan buku tugasku. “Haruka tadi
menitipkannya kepadaku.”
“Waah! Syukurlah!
Terima kasih, Ken!”
“Kau ini
benar-benar ‘sesuatu’. Bahkan kau melupakan buku tugasmu, ketika kau ingin
mengerjakannya.”
Aku mengetuk
keningku. “Aku memang pelupa. Maaf, ya...”
Ken menghela
nafas dan melipatkan kedua tangannya di depan dada. “Oh ya, soal ingatanmu, apa
kau mengingat sesuatu?”
“Semalam aku
bermimpi aneh.”
“Mimpi?”
Aku mengangguk. “Aku
bermimpi bertemu dengan seseorang.”
“Apa orang itu
mengatakan sesuatu?”
“Aku tidak
terlalu yakin, namun sepertinya iya.” Aku menatap Ken. “Terdengar seperti...
sebuah janji.”
“Janji?” Ken
mencondongkan kepalanya, pertanda jika ia sangat penasaran. “Orang itu
menjanjikan apa?”
“Kita akan
selalu bersama.” Aku melipatkan kedua tanganku. “Yah... seperti itulah.”
“Apa orang itu
laki-laki? Atau perempuan?”
“Laki-laki...
sepertinya.” Aku menggeleng. “Tapi aku tidak yakin.”
“Kalau sampai
mengatakan hal seperti itu... mungkin ia orang yang sangat berharga untukmu.”
Pada saat itu
Ken mengatakannya bukan dengan wajah yang sedang berpikir, melainkan dengan
wajah yang terluka. Aku tidak mengerti maksud Ken saat itu, namun hal itu
membuat hatiku sakit. Apa aku telah mengatakan hal yang salah sehingga melukai
Ken? Apa aku salah telah menceritakan hal ini kepada Ken? Pertanyaan itu terus
berputar di kepalaku.
“Tapi, mungkin
saja itu hanya mimpi. Lagi pula kemungkinannya sangat kecil jika muncul melalui
sebuah mimpi.”
Sebuah senyuman
muncul dari bibir Ken. “Kau benar. Mungkin itu hanya mimpimu.”
Hanya ini yang
bisa aku lakukan dan aku merasa lega melihat Ken tersenyum kembali. Ternyata
aku memang salah telah menceritakan hal ini kepada Ken. Ia pasti tidak ingin
mendengar hal pribadi semacam ini. Tapi kenapa seperti itu? Kenapa Ken
menunjukkan wajah terlukanya? Kenapa perasaanku tidak enak seperti ini?
***
“Mei apa kau
sedang sibuk?” tanya bibi sambil melepas celemeknya.
Aku menggeleng. “Tidak,
bi. Memangnya ada apa?”
“Bisa kau
berikan kue ini kepada keluarga Suzuki? Bibi membuatnya terlalu banyak, sayang
kalau tidak habis.”
“Baiklah. Kebetulan
aku juga ingin menanyakan tugas kepada Ken.”
Selagi aku
mengambil jaket di kamar, bibi langsung membungkus satu loyang kue itu dengan
plastik agar tidak ada kotoran yang masuk ke dalamnya.
“Hati-hati
jangan sampai terjatuh.”
“Baik, bi. Aku
pergi dulu.”
Rumahku dan
rumah Ken bersebelahan, jadi aku tidak perlu mengeluarkan energi terlalu
banyak. Aku cukup berjalan beberapa langkah saja dan langsung sampai di depan
rumah Ken.
“Permisi!”
“Tunggu
sebentar!” terdengar suara seseorang dari dalam rumah dan tak lama setelah itu
Bibi Suzuki muncul, beliau ibunya Ken. “Mizutani?”
“Selamat siang.
Aku diminta bibiku untuk memberikan kue ini.”
“Ya ampun! Maaf
merepotkan kalian. Ayo masuk, mampirlah sebentar.”
“Iya, kebetulan
aku ada perlu dengan Ken. Apa Ken ada?”
“Anak itu? Dia
ada di kebun bersama ayahnya. Masuklah, ia pasti senang melihatmu berkunjung.”
“Terima kasih.” Aku
pun masuk sambil membawa loyang kue.
***
No comments:
Post a Comment