Sinar matahari
menyorot tepat ke wajahku. Silau sekali rasanya, apa sudah pagi? Aku pun
perlahan membuka mataku. Ku dapati langit-langit kamar Keita dengan mata yang
masih mengantuk.
“Sepertinya aku
ketiduran...” Begitu aku meraba-raba, ternyata aku meniduri sebuah futon.
Futon? Bagaimana bisa?
Aku menoleh ke
kanan, ternyata Keita masih tertidur di tempat tidurnya. Aku pun menoleh kearah
kiri, ternyata ada seseorang disebelahku.
Eh? Apa aku tidak salah lihat?
Aku kembali
menoleh kearah kiri. Ternyata Ken-lah orang yang tidur di sebelahku. Wajahnya dekat
sekali, bahkan... aku bisa merasakan nafasnya.
Eh? Tunggu, kalau Ken tertidur di sebelahku,
berarti... semalam aku tidur disebelahnya, dong?! Heee?!
Aku pun langsung
bangkit dan menepuk-nepuk wajahku, berharap kalau ini hanya mimpi.
“Ini... bukan
mimpi!” aku menoleh kearah Ken yang masih terlelap. “Kyaaaa-!!!”
Mendengar jeritanku,
Ken langsung bangkit padahal wajahnya masih sangat mengantuk.
“Ada apa, Mei?
Apa ada sesuatu?”
Aku pun langsung
membungkus kepala Ken dengan selimut dan mendorongnya hingga terjatuh
kebelakang.
“Apa yang kau
lakukan semalam?!”
“Ehh!
Bukan-bukan! Kau jangan berfikir yang macam-macam!” Ken menyingkirkan selimut
yang menutupi wajahnya. “Aku tidak melakukan apa-apa! Sungguh!”
“Kalau begitu,
kenapa kau bisa berada disini?!”
“Biar aku
jelaskan. Semalam kau ketiduran disini, kemudian aku bilang pada ibuku dan
ibuku bilang biarkan saja. Jadi aku mengambilkanmu futon dan memindahkanmu.”
“Kenapa kau
tidur di futon yang sama denganku? Kenapa kau tidak tidur saja di kamarmu
itu?!”
Tiba-tiba wajah
Ken memerah. “Kalau itu...”
“Aku benar,
kan?! Dasar hentai!!” aku melempar
bantal ke wajah Ken.
“Tu-tunggu! Aku
hanya bercanda!”
TOK-TOK-TOK
“Ken, Mei, apa
kalian sudah bangun?” tak lama setelah itu, bibi membuka pintu kamar Keita.
“Kalian ini, pagi-pagi sudah ribut sendiri. Apa sih yang kalian lakukan?”
“Ibu?”
Aku langsung
bangkit dan membungkukkan badan. “Ma-maafkan aku!”
“Haah... Ya
sudah. Sebaiknya kalian cepat bersiap-siap.”
“Baik, bu.” Ken
menepuk bahuku. “Aku mandi dulu, Mei.”
Ken langsung
keluar dan pergi ke kamarnya, sedangkan aku membantu Bibi Suzuki merapihkan
futon bekas tidurku.
“Kalau begitu
aku pulang dulu untuk bersiap-siap.” Ujarku setelah menyimpan futon ke dalam
lemari.
Bibi Suzuki
mengangguk. “Ya. Salam untuk bibimu.”
Aku
membungkukkan badan. “Terima kasih, maaf merepotkan.”
Aku pun langsung
berlari pulang ke rumah bibi kemudian bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
***
Aku menutup
pagar rumahku. Hari ini mood-ku sedang jelek, ditambah dengan kondisi badan
yang pegal-pegal. Rasanya ingin bolos saja.
“Kau terlambat!”
seseorang berteriak di telingaku dengan nada yang sangat riang-berbeda
denganku.
Aku menoleh dan
mendapati Ken sudah berdiri dengan kedua tangannya yang ia masukkan ke dalam
saku celana.
Apa dia ingin terlihat cool dengan gaya seperti itu?
Dasar kampungan!
Itu-lah kesanku
saat pertama kali melihatnya hari ini. Entah kenapa kejadian semalam membuatku
benar-benar malas berbicara dengan Ken. Akhirnya aku hanya berlalu dan
meninggalkan Ken yang terlihat keheranan.
Ken langsung
menyusul dan menyamakan langkahnya denganku.
“Kau jahat
sekali meninggalkanku! Seakan aku ini tidak tampak!”
Aku menoleh
kearah Ken, namun aku tetap diam. Ken terlihat makin keheranan dengan sikapku.
“Hello... Apa aku ini benar-benar invicible?”
Aku tetap
bungkam. Kali ini Ken terlihat sedikit kesal.
“Mei, apa kau
mendengarku?” Ken menarik-narik rambutku. “Kau marah, ya?”
Marah? Entahlah. Aku juga tidak tahu. Tapi aku kesal
sekali melihat wajahmu pagi ini.
Ken menghela
napas, kemudian menarik bahuku sehingga langkahku terhenti. “Kau marah soal
semalam, ya? Katakan saja! Jujur padaku.”
Wajah Ken
terlihat sangat kesal, bahkan nada bicaranya sudah meninggi. Meski begitu, aku
hanya menatapnya malas dan kembali melanjutkan langkahku.
Ketika sudah
melangkah cukup jauh, tidak ada tanda-tanda Ken mengikutiku. Aku pun menoleh ke
belakang. Ternyata Ken terpaku di tempat ia berdiri sambil terus menatap ke
tanah. Apa dia sudah menyerah?
Begitu aku
memalingkan wajahku kembali, tiba-tiba Ken berlari melewatiku kemudian
menghentikan langkahnya dihadapanku. Aku pun menghentikan langkahku.
“Kau ini kenapa
sih, Mei? Kalau kau marah, aku minta maaf!”
Aku menghela
napas. “Ken, aku ingin cepat sampai ke kelas.”
“Tidak akan
terjadi kalau kau tidak bicara denganku!”
“Aku sudah
bicara denganmu!”
“Bukan hanya
bersuara! Katakan padaku kau ini kenapa!”
Aku melipatkan
kedua tanganku. “Ken!”
“Mei!”
“Aku ingin ke
sekolah! Kau jangan menghalangiku!”
“Aku tidak akan
membiarkanmu lewat! Kita akan terus seperti ini sampai jam pelajaran usai,
kalau kau tidak juga bicara padaku.”
“Kau
kekanak-kanakkan.” Ucapku dengan sinis.
“Kau lebih
kekanak-kanakkan!”
Aku akan
terlambat sampai di sekolah jika terus seperti ini. Akhirnya aku mengambil
posisi untuk kabur dan berlari sampai sekolah. Aku juga harus memastikan kalau
Ken tidak bisa mengejarku. Good idea!
Aku pun
menyelinap di celah pengawasan Ken dan berhasil kabur. Ken terkejut dan
langsung membalikkan badan. Tangannya yang panjang berusaha menangkapku, namun
karena badanku lebih kecil, aku pun berhasil menghindar.
“Mei! Tunggu!
Kau jangan kabur!” teriak Ken dengan lantang. Ia bahkan tidak menghiraukan
orang-orang disekitarnya yang sedari tadi tengah memerhatikan kami.
Kami pun
kejar-kejaran selama perjalanan menuju ke sekolah. Kalau dipikir-pikir, kami
benar-benar seperti anak kecil. -_-
***
No comments:
Post a Comment